(Oleh: Nurul Alifah)
Perjalanan Siung pada September lalu merupakan perjalanan yang menyenangkan. Pertama, perjalanan tersebut merupakan perjalanan pertama saya bersama kawan-kawan baru saya. Kedua, perjalanan tersebut merupakan perjalanan pertama saya dengan tujuan memanjat tebing (di awal perjalanan bahkan saya tidak yakin berhasil memanjat). Di sepanjang jalan menuju Siung, kota Wonosari dengan pegunungan kapur yang menarik perhatian berlebih berhasil membuat saya gelisah tanpa kompromi.
Oleh sebab beberapa hal, saya dan teman saya, Timit, memutuskan menyusul rombongan yang sudah berangkat lebih dulu pada hari Jumat pukul 19.00. Paginya, hari Sabtu, pukul 08.00 saya dan Timit berangkat dari kota Yogyakarta menuju Siung dengan menahan kantuk. Perjalanan yang direncanakan berangkat pukul 07.00 pagi tersebut mengalami penundaan satu jam karena kantuk yang menjadi-jadi.
Jalan-jalan menuju Siung dihiasi oleh pemandangan yang sangat unik jika tidak ingin dikatakan sebagai pemandangan yang aneh. Beberapa kali berkendara menuju Gunungkidul, baru kali ini saya menyadari bahwa Wonosari macam salah satu Perempuan-Perempuan yang Ditinggal Lelainya. Frasa tersebut merupakan judul cerpen karya Cucum Cantini yang diterbitkan oleh platform kibul.in dalam Antologi Cerpen dan Puisi Pilihan Kibul 2017. Judul tersebut berkorelasi dengan tokoh dalam cerita tersebut.
Cucum Cantini menggunakan sudut pandang pertama dalam mengisahkan cerpen tersebut. Penulis bertindak sebagai “aku” yang menceritakan pandangannya mengenai dua kota yang terkesan “mati” karena ditinggal oleh penduduknya. Terdapat dua kota berbeda provinsi sebagai objek dalam cerpennya. Wonosari dan Padalarang. Kota yang kesepian itu memiliki respon sendiri menghadapi kepiluannya. Wonosari yang merupakan kota tandus dan tidak memiliki sumber daya yang dimanfaatkan memilih menerima keadaan. Para penduduknya mencoba mengambil apa yang disediakan. Berbeda dengan Padalarang yang ramai akan pabrik-pabrik dan kepul asap. Dua kota yang terkesan “mati” bertahan hidup dengan caranya sendiri.
Di kanan kiri jalan sepanjang Wonosari akan ditemukan lahan-lahan tandus di musim kering. Dan September adalah kemarau malang dengan debu-debunya yang beterbangan. Akan terlihat pula ibu paruh baya yang menggendong kayu-kayu bakar tanpa kepayahan. Hal inilah yang membuat Wonosari sebagai kota yang menerima kepiluannya. Menikmati tangisannya dengan tangan dan kaki yang terus bekerja. Beserta tatapan polos dan senyum tanpa curiga ketika setiap jengkal kotanya didatangi oleh asing.
Perjalanan naik turun dan berkelok-kelok selaksa sesiut angin tanpa tahu kapan berakhir berhenti di sebuah plang dengan nomina bertuliskan “Pantai Siung”. Desah yang saya keluarkan tanpa sadar cukup menjelaskan bahwa perjalanan menuju Siung merupakan perjalanan melelahkan yang berhasil saya nikmati atas pilu kota Wonosari. Pun ketika saya bertemu dengan pantai, angin yang kering tetap menyambut mata merah-menahan-kantuk kami, saya dan Timit.
Setelah kebingungan dan mencoba mencari tanda-tanda kawan-kawan yang lain, kami melihat sebuah rumah yang sama dengan yang ditunjukan oleh kawan kami. Selepas itu kami parkir dan langsung menuju lokasi pemanjatan. Di jalan, saya dan Timit melihat Mbak Hanung. “Akhirnya”, desahku kembali. Dan dimulailah petualangan sehariku dalam percobaan memanjat tebing yang asli.