Oleh: Halimatus (KS 357 DE)
Jetisharjo, 23 Januari 2019 (23:47)
Merantau di Yogyakarta membuat saya jauh dari orang tua dan juga keluarga. Padahal bagi saya, kehangatan keluarga menjadi hal penting sebagai pemompa semangat, penambah energi menjalani hari-hari berat di tanah rantau. Dan saya seperti mendapat anugerah besar dari Tuhan, karena dipertemukan dengan keluarga baru di Turgo. Entah mulai kapan pertama kali Tuhan mempertemukan saya dengan mereka. Yang pasti karena petunjuk yang diberikan Tuhan melalui kapalasastra lah sehingga saya bisa dipertemukan dengan mereka. Mungkin ada beberapa dari kalian yang belum mengenal keluarga Turgo, baiklah akan saya perkenalkan mereka terlebih dahulu sebelum terlalu jauh bercerita.
Saya dan teman-teman Kapalasastra menyebutnya keluarga Turgo karena mereka tinggal di desa Turgo. Sebuah desa di lereng Merapi yang masuk di wilayah Kabupaten Sleman. Pada awalnya (entah kapan), kami berencana menjadikan Turgo sebagai sebuah desa binaan. Program yang kami rencanakan adalah pembuatan taman baca dengan mengumpulkan buku-buku layak baca untuk anak-anak di sana. Kalau kata mbak Windy ariestanti seorang travel writer mengatakan “Sama seperti mimpi, buku-buku baik pun perlu diberi kaki agar ia bisa sampai ke pelosok Indonesia dan menjadi teman anak-anak”. Saya mengimani kata-kata itu. Tuhan menjadikan Kapalasastra sebagai kaki bagi buku-buku baik sehingga bisa sampai di Turgo dan membantu anak-anak di sana melihat dunia.
Melalui program itu, kemudian Tuhan mempertemukan kami dengan sebuah keluarga yang penuh dengan kehangatan yaitu keluarga Mbah Marjo. Rencana pembuatan taman baca berhasil kami realisasikan yaitu dengan mengumpulkan buku layak baca dan menjadikan rumah mas Indra (anak mbah marjo) sebagai taman baca. Kami terus memantau perkembangan taman baca dan melakukan penambahan koleksi buku. Entah sudah berapa kali kami berkunjung ke sana. Yang pasti, kedatangan kami di sana selalu disambut hangat oleh keluarga Mbah Marjo. Mereka berhasil membuat kami berkunjung bukan hanya untuk keperluan program taman baca, melainkan berkunjung karena merindukan kehangatan keluarga.
Pagi tadi, 23 Januari 2019… saya dan Hanung tetiba rindu dan terbayang wajah-wajah hangat mereka, Keluarga Turgo. Tanpa perlu persiapan apapun kami berdua meluncur meninggalkan keramaian kota Yogyakarta menuju Turgo. Hanya perlu waktu 45 menit kami sampai di sana. Ada yang berbeda dari rumah mbah Marjo, karena terlihat lebih gagah dan ramai. Ya… material atap rumahnya terlihat lebih modern dibandingkan dulu. Banyak anjing juga yang ikut menyambut kami dengan gonggongannya. Terlihat berjalan keluar seorang dengan postur tubuh kecil dengan punggung yang sudah semakin membungkuk dan rambut sudah banyak beruban berhenti di depan pintu ruang tamu. Sudah dengan sangat hafal melihat postur itu, dia adalah Mbah marjo kakung. Saya memarkirkan motor di depan rumah persis. Dan benar… Tuhan mengirimkan senyum hangat yang kami rindukan melalui wajah teduh Mbah marjo Kakung. Kami berjalan ke arah beliau. “Sehat Mbah?”. Sapaku spontan dengan mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. Cengkeraman kuat dari tangannya, persis seperti cengkeraman kakek saya di rumah. Kami bertiga masuk ke dalam rumah. Ruang tamu penuh dengan barang-barang baru seperti komuter, laptop, sound, koper, dll yang tidak pernah kami lihat sepanjang kami berkunjung ke sana.
Tidak saya lihat keberadaan Mbah Marjo Putri, ternyata beliau sedang di alas berburu teh. Seperti biasa ketika berkunjung ke sana, saya selalu melihat dapur. Saya melihat ada dua perempuan tengah sibuk dengan pekerjaan dapur. Belum sempat saya menanyakan ke Mbah marjo kakung beliau sudah menceritakan pada saya bahwa mereka adalah anak pertamanya dan cucunya dari Cianjur yang sekarang tinggal bersama beliau. Saya menyapa mereka. Kemudian kembali ke ruang tamu dan mengobrol bersama mbah marjo. tidak lama, dua teh hangat datang di bawa oleh anak mbah marjo, Mbak Asih namanya. Kami juga berkenalan dengan beliau. Teh hangat yang ada di depan saya adalah teh hangat yang dipetik langsung oleh mbah Marjo di kebunnya dan diolah sendiri menjadi teh yang siap untuk dihidangkan. Salah satu hal yang saya rindukan dari keluarga Mbah marjo ini adalah teh khas nya yang tidak saya temukan di tempat lain. Rasanya seperti ada aroma-aroma kayu, selebihnya saya tidak bisa menjelaskan bagaimana rasanya. Heheheh
Di tengah-tengah obrolan, Mbah Marjo Putri terlihat berjalan di depan rumah. Tidak lama kemudian beliau menghampiri kami. Memeluk saya dan Hanung secara bergantian. Tidak ada yang berubah dari beliau. Masih tetap dengan wajah teduh dengan rambut beruban tidak tertata rapi di bagian depan. Beliau ikut mengobrol bersama kami. “Mung cah loro to? Liyane do ning endi? Kok suwi ra teko2 rene?” Tanyanya. Nada yang khas seperti seorang nenek yang tengah rindu dengan cucu-cucunya. Padahal baru September kemarin kami mengunjungi Mbah Marjo :’). Yaa… kami hanya berdua karena teman-teman kami yang lain sedang mengisi asupan energy di kampong halaman mereka.
Setelah mengobrol banyak, saya dan hanung pamit untuk bertemu mbak Mina, menantu Mbah Marjo, istri dari mas Indra. rumahnya berada tepat di samping kiri rumah mbah Marjo. di rumah itulah taman baca berada. Kami masuk ke rumah mbak Mina Rumahnya terlihat sepi, kerena memang Resti anaknya pasti belum pulang dan mas Indra pun juga pasti tengah ngantor. Mb Mina sedang menyapu ruang tamu. “Ehh ya Allooh… kok ra kabar2 arep ndene? bar seko endi wae, kok yo suwi ra rene” sambutnya pada kami. Kami pun duduk dan mba Mina melanjutkan menyapu kemudian duduk bersama kami. Kami mengobrolkan hal-hal ringan, mb Mina menceritakan apa-apa saja yang sudah terjadi sejak kami terakhir berkunjung di bulan September kemarin. Sedang asyik mengobrol, Mbah Marjo Putri memanggil kami mengajak makan siang. Tidak menolak, karena saya juga lapar. Menu makan siang adalah sayur tempe tahu, rebusan sayur, sambal terasi tomat, ikan bandeng. Kenikmatan tiada tara tidak hanya karena rasa dari menu makan tapi juga karena kami semua makan bersama-sama. Kegiatan kami di rumah Mbah marjo tidak berbeda dari kegiiatan2 pada kunjungan kami sebelum2nya. Mengobrol di depan rumah, di ruang tamu, di rumah mbak Mina, merapikan buku-buku di taman baca, sambil menunggu Pipi dan Resti (Cucu mbah Marjo) pulang dari sekolah. Semua kegiatan itu justru yang kadang membuat saya rindu ketika jauh dari mereka. Oh ya… saya belum menceritakan anjing-anjing baru di rumah Mbah marjo. beberapa dari mereka adalah pasien dari cucu mbah marjo, anak mbak asih. Ternyata, cucu beliau yang saya lihat di dapur tadi adalah calon dokter hewan lulusan UGM.
Saya memang menunggu-nunggu resti dan Pipi pulang. Mereka baru pulang sekitar pukul 2 siang. Kami main bersama mereka di teras rumah Mbah marjo, sampai hujan dan kabut datang dan ikut kami bermain. Kareena dingin, saya mengajak mereka untuk masuk ke dalam rumah. Duduk di dapur depan tungku menjadi pilihan yang menarik. Di sana, Mbah marjo putri sedang bersiap akan mengolah teh yang tadi siang beliau petik di alas. Saya merasa bersemangat membantu beliau, karena selama ini saya belum pernah melihat beliau meracik teh khasnya. Sebenarnya saya tidak membantu sih tapi mengajak ngobrol beliau di dapur. Heheheh. Daun-daun teh yang beliau petik sebanyak tiga tampah, kemudian di masak dalam kwali yang terbuat dari tanah liat tanpa menambahkan bahan-bahan lain. Beliau memasak daun-daun itu sampai kadar airnya benar-benar hilang.
Karena hari semakin gelap, dan semakin dingin, saya dan hanung memutuskan untuk pamit pulang. Meskipun hujan masih belum juga reda. Ingin rasanya menginap di sana, namun banyak pekerjaan yang menanti di Jogja. Kebersamaan kami di sana pada hari ini, di tutup dengan makan indomie rebus telur. Saya bertemu mereka untuk mengobati rindu, kemudian kembali ke Jogja dengan membawa energi-energi baru. Tidak dipungkiri memang, mereka bukan lagi orang lain. Mereka adalah keluarga yang mudah untuk ditemui karena hanya butuh hitungan menit saja untuk bisa bertemu mereka, dan tentunya siap memberikan asupan-asupan energy yang selalu dihabiskan oleh beratnya dunia rantau.